Minggu, 06 September 2015

DZAT MAULANA

Eggyzsutamy
Pepatah mengatakan: Tak jumpa maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Cinta kepada Allah semata. Cinta kasih adalah rahasia Allah.

Dia menciptakan manusia dalam bayangan Rahman (hadist Rosululloh).
Bagaimana caranya kita mengenal Dzat Allah? Dimana? Kemana kita harus mencari Dzat Allah? Apakah harus ke Mekkah ataukah ke negeri Cina? Apakah sedemikian jauhnya Dzat Allah itu berada?
Bagi umat Islam sebagai bahan rujukannya adalah Al Qur’an dan hadist Rosulullah.

BERDASARKAN AL QUR’AN ADALAH SEBAGAI BERIKUT :

1. BILA HAMBA-HAMBA KU BERTANYA TENTANG AKU KATAKANLAH BAHWA AKU DEKAT (AL BAQARAH 2 : 186).

2. LEBIH DEKAT AKU DARI PADA URAT LEHER (AL QAF 50 : 16).
3. KAMI AKAN PERLIHATKAN KEPADA MEREKA TANDA-TANDA (AYAT-AYAT) KAMI DI SEGENAP PENJURU DAN PADA DIRI MEREKA (FUSHSHILAT 41 : 53).
4. DZAT ALLAH MELIPUTI SEGALA SESUATU (FUSHSHILAT 41 : 54).
5. DIA (ALLAH) BERSAMAMU DIMANAPUN KAMU BERADA
(AL HADID 57 : 4).
6. KAMI TELAH MENGUTUS SEORANG UTUSAN DALAM NAFS (DIRI)-MU (AT TAUBAH 9 : 128).
7. DI DALAM DIRI-MU APAKAH ENGKAU TIDAK MEMPERHATIKAN (ADZ DZAARIYAAT 51 : 21).
8. TUHAN MENEMPATKAN DIRI ANTARA MANUSIA DENGAN QOLBUNYA (AL ANFAAL 8 : 24).
9. AKU CIPTAKAN MANUSIA DENGAN CARA YANG SEMPURNA
(AT TIN 95 : 4).

Manusia diciptakan dengan cara yang sempurna. Berarti bahan dasarnya juga harus sempurna yaitu Dzat Yang Maha Sempurna. SETELAH AKU SEMPURNAKAN KEJADIANNYA AKU TIUPKAN RUH-KU KE DALAMNYA ( AL HIJR 15 : 29 ). Berarti Dzat Allah berada di dalam diri setiap manusia, baik mata belo maupun mata sipit, hidung mancung maupun pesek, kulit hitam, putih, coklat maupun kuning.

Kita semua tenggelam atau baqo' dalam Tuhan. Bila Jubah Allah itu bulat seperti bola maka kita semua seperti berada di dalam bola yang kemanapun kita menghadap baik kekiri, ke kanan, ke atas maupun kebawah disanalah Wajah Allah. DIA ada dimana-mana namun dalam ke-Esa-an-NYA, DIA tidak kemana-mana.

HADITS QUDSI DAN HADITS RASULULLAH :

1. MAN AROFA NAFSAHU FAQOD AROFA ROBBAHU : Barang siapa mengenal nafs (diri) nya, maka dia mengenal Tuhan nya.
2. WA MAN AROFA ROBBAHU FAQOD JAHILAN NAFSAHU : Barang siapa mengenal Tuhannya maka dia merasa bodoh.
3. MAN TOLABAL MAULANA BIGHOIRI NAFSI FAQODDOLA DOLALAN BA'IDA : Barang siapa yang mencari Tuhan keluar dari dirinya sendiri maka dia akan tersesat semakin jauh.
4. IQRO KITAB BAQO KAFA BINAFSIKA AL YAOMA ALAIKA HASBI : Bacalah kitab yang kekal yang berada di dalam diri kalian sendiri.
5. ALLAHU BATHINUL INSAN, AL INSANU ZHOHIRULLAAH: Allah itu bathinnya manusia, manusia adalah zhohirnya (kenyataannya) Allah.
6. AL INSANU SIRI WA ANA SIRUHU: Rahasia kalian adalah rahasia-Ku.
7. DALAM SETIAP RONGGA ANAK ADAM AKU CIPTAKAN SUATU MAHLIGAI YANG DISEBUT DADA, DI DALAM DADA ADA QOLBU, DALAM QOLBU ADA FUAD, DALAM FUAD ADA SYAGHOFA, DI DALAM SYAGHOFA ADA SIR, DALAM SIR ADA AKU, TEMPAT AKU MENYIMPAN RAHASIA.
8. LAA YA'RIFALLAAHU GHOIRULLAH : Yang mengenal Allah hanya Allah.
9. AROFTU ROBBI BI ROBBI : Aku mengenal Tuhan melalui Tuhan.
10. MA 'AROFNAKA HAQQO MA’RIFATAKA : Aku tidak mengenal Engkau, kecuali sampai sebatas pengetahuan yang Engkau perintahkan.

Apakah kita bisa bertatap muka secara langsung dengan Allah? Mari kita lihat Surat Al Baqarah ayat 1: ALIF LAM MIM. Mengapa tidak dibaca ALAM atau ALIM??? HANYA ALLAH YANG MENGETAHUI ARTINYA. Yang mengetahui Allah hanya Allah. Huruf Alif adalah milik Allah, Lam untuk utusan Allah dan Mim untuk Muhammad (insan, manusia).
Antara Alif dan Mim ada Lam, antara Allah dan manusia ada apa?? ADA SIR.
Sir dalam hal ini bisa berperan sebagai utusan, sebagai pembawa berita, sebagai naluri, sebagai angan-angan atau imajinasi, sebagai generator dan bisa juga sebagai mikro prosesor penerima atau pengolah data.

TIDAK ADA SEORANG PUN YANG DAPAT BERCAKAP-CAKAP DENGAN ALLAH, KECUALI DENGAN WAHYU, ATAU DARI BELAKANG TABIR, ATAU DENGAN MENGIRIMKAN UTUSAN-NYA DENGAN SEIZIN-NYA.
( AS-SYUARA 42 : 51 ).
MULAI HARI INI AKU SINGKAPKAN TABIR YANG MENUTUPI MATAMU, MAKA PENGLIHATANMU AKAN MENJADI TAJAM (AL QAAF 50 : 22).
TUHAN MENEMPATKAN DIRI ANTARA MANUSIA DENGAN QOLBUNYA. (AL ANFAL 8 : 24).
 
Qolbu merupakan titik terendah dari sumbu komunikasi vertikal kepada Allah. Tabir akan menjadi transparan dan akan menjadi kabel penghubung untuk berkomunikasi dengan Allah, manakala kita tidak ragu-ragu akan kebenaran Al Qur’an dan yakin akan keghoiban Allah dimana qolbu merupakan pintu masuk ke alam ghoib. Komunikasi dengan Allah hanya bisa melalui dzikir qolbu.

INILAH KITAB YANG TIADA DIRAGUKAN, SUATU PETUNJUK BAGI MEREKA YANG TAKWA, YAITU MEREKA YANG BERIMAN KEPADA YANG GHOIB.
( AL BAQARAH 2 : 2-3 )

DAN SEBUTLAH ( NAMA ) TUHANMU DALAM HATIMU…( AL A’RAF 7 : 205 ).
DIA AKAN MEMBERI PETUNJUK KEPADA HATINYA ( AT TAGABUN 64 :11 )
DIALAH JIBRIL YANG MENURUNKAN AL QUR’AN KE DALAM QOLBUMU DENGAN SEIZIN ALLAH (AL BAQARAH 2 : 97).

Oleh karena itu seorang akan betul-betul yakin kepada kebenaran Al Qur’an dan hakikat Dzat, setelah yang bersangkutan mengalami hal-hal yang bersifat ghoib. Pengalaman ghoib itulah yang sangat didambakan oleh para pencari Tuhan. Pengalaman ghoib itulah yang disebut ilmu ilhamiah atau ilmu laduni yang lebih dipercayai oleh mereka para sufi dari pada ilmu akal.

BARANG SIAPA YANG HATINYA DIBUKA OLEH ALLAH KEPADA ISLAM (DAMAI) MAKA IA ITU MENDAPAT CAHAYA DARI TUHAN NYA.
(AZ ZUMAR 39 : 22).

Menurut Al Ghazali Dzat Allah itu sangat terang benderang, sehingga hanya bisa ditangkap oleh mata hati.
CAHAYA DI ATAS CAHAYA (AN NUR 35),
DIA (ALLAH) TIDAK TERCAPAI OLEH PENGLIHATAN MATA
(AL AN’AM 6 : 103).

YANG PERTAMA-TAMA AKU BERIKAN KEPADA MEREKA (YANG BERIMAN) ADALAH NUR KU YANG AKU TARUH DI HATI MEREKA (HADITS QUDSI).

Ketika Musa berdo’a ingin melihat Tuhan, maka Tuhan berfirman :
ENGKAU (MUSA) TIDAK AKAN SANGGUP MELIHAT AKU.
MAKA MANAKALA TUHANNYA MEMPERLIHATKAN DIRI DI ATAS BUKIT, BUKIT ITU HANCUR DAN MUSA JATUH TIDAK SADARKAN DIRI
(AL A’RAF 7 : 143).

Maka dengan demikian adalah sangat terlarang untuk menyingkap tabir rahasia Allah, kita tidak boleh melewati batas-batas yang telah ditetapkan Allah.
ALLAH MEMPUNYAI TUJUHPULUH HIJAB CAHAYA DAN KEGELAPAN; SEANDAINYA DIA MENYIBAKKAN HIJAB-HIJAB ITU MAKA KEAGUNGAN WAJAHNYA AKAN MEMBAKAR SEGALA YANG DILIHAT OLEH MAHLUK-NYA ( HADITS ROSULULLAH ).

Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah, jangan berpikir tentang Dzat Penciptanya.
Aku tidak mengenal Allah, kecuali sampai sebatas pengetahuan yang telah Allah berikan kepadaku. ( Hadits Rosulullah ).
Bila kita berusaha mencoba menyingkap tabir tersebut, maka kita akan hancur lebur seperti halnya dalam riwayat Nabi Musa yang ingin melihat Allah, dimana gunung sekalipun akan hancur. Mengenal Tuhan harus melalui Tuhan. Dia yang mengenali dan Dia yang dikenali adalah sama. Jasmani Musa dengan ke-aku-annya tidak mungkin bisa berhadapan dengan Tuhan, karena tidak ada sesuatu wujud yang lain disamping Allah. Kekasaran jasmani dan ke-aku-an merupakan tabir yang pekat.
Sesungguhnya Allah telah memberikan peringatan kepada kita semua :

WA YUHADZDZITU KUMULLAHU NAFSAHU : DIA MEMPERINGATKAN KA MU TERHADAP DIRINYA (AL IMRAN 3 : 30).

KULLU SYAI’IN HAALIKUN ILLAA WAJHAHU : SEGALA SESUATU AKAN MUSNAH KECUALI WAJAHNYA (AL QASHASH 28 : 88).

Bila ingin berjumpa dengan Tuhan, hancur luluhkan dirimu sendiri, ke-akuan-mu, egomu, tutup mata dan telingamu, tutup semua ilmu dan teori tentang Dzat, kosongkan hati dan pikiranmu dari segala sesuatu selain Allah semata, maka KE-AKU-AN TUHAN, RUH TUHAN dalam dirimu akan muncul memperlihatkan JAMAL-NYA. AKU dan AKU saling bertemu dan berdialog. Demikianlah apa yang dilakukan Musa selama 40 hari dan 40 malam, sehingga Musa pun bisa menerima wahyu 10 Perintah Tuhan. Demikian juga Nabi Muhammad SAW, menurut para sesepuh, wahyu pertama turun setelah 40 hari dan 40 malam di Gua Hira.
Sabda Rosulullah : Kita harus bisa mati sebelum mati.

Senin, 31 Agustus 2015

Shanghyang tunggal

Egyzsutamy
Sang Hyang Tunggal menikah dengan Dewi Darmani putri Sang Hyang Darmajaka (Darmakaya) raja Kahyangan Keling (negeri Selong) yang tidak lain adalah kakak kandung Sang Hyang Wenang sendiri. Lalu Sang Hyang Tunggal dinobatkan menjadi raja di Kahyangan Keling menggantikan Sang Hyang Darmajaka. Dari perkawinannya dengan Dewi Darmani, Sang Hyang Tunggal dikaruniai beberapa orang anak dalam wujud 'akyan' (jasad halus) mereka adalah : Sang Hyang Rancasan / Sang Hyang Rudra / Dewa Esa, Sang Hyang Dewanjali dan Sang Hyang Darmastuti.

Sang Hyang Tunggal yang gemar membaca Serat (kitab) Pustaka Darya yang berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis) itu menjadi tertarik dengan kisah perjalanan Sang Hyang Nurcahya (kakek buyutnya). Ia memutuskan untuk meniru sang kakek buyut, yaitu bertapa untuk mencapai cita-citanya menjadi penguasa di tiga lapisan dunia (Tribuana / Triloka). Kahyangan Keling pun ia serahkan kepada putera sulungnya yaitu Sang Hyang Rudra.

Sang Hyang Tunggal kemudian bertapa tidur di atas sebuah Batu Datar. Begitu heningnya ia bertapa, ketika terbangun ia telah berada di sebuah istana indah di dasar samudera. Tanpa sadar sebenarnya Sang Hyang Tunggal telah diculik oleh raja siluman kepiting bernama Sang Hyang Rekatama (Sang Hyang Yuyut) untuk dinikahkan dengan putrinya. Putri Sang Hyang Rekatama yang bernama Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) mengaku pernah bertemu dengan Sang Hyang Tunggal di alam mimpi, dan jatuh hati kepadanya. Karena itu adalah jalan untuk mewujudkan cita-citanya, maka Sang Hyang Tunggal menerima lamaran tersebut.

Sang Hyang Tunggal lalu membawa Dewi Wirandi (Dewi Rekatawati) ke istana Jonggring Salaka (Kahyangan Suralaya) di gunung Tengguru (Himalaya) untuk mendapat restu dari ayahnya. Kemudian Sang Hyang Wenang menyerahkan Kahyangan Suralaya kepada Sang Hyang Tunggal. Dan lalu Sang yang Wenang mokswa, tinggal di swargaloka awang-uwung kumitir.

Sang Hyang Tunggal kini bersemayam di Kahyangan Suralaya bersama kedua istrinya, Dewi Darmani dan Dewi Wirandi. Saat itu Kahyangan Suralaya masih belum berpenghuni lain selain mereka bertiga.

Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur.
Sang Hyang Tunggal bermujasmedi mengheningkan cipta masuk ke Swargaloka Awang Uwung Kumitir. Dihadapan Sang Hyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya.

Sang Hyang Wenang memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan ‘Tirta Kamandalu’ kepada Sang Hyang Tunggal.

Sesuai petunjuk ayahnya, telur itu ia puja hingga meretak dan pecah berserakan menjadi tiga bagian, kulit, putih dan merah telur. Sang Hyang Tunggal menyiramkan ‘air kehidupan’ Tirta Kamandalu secara bersamaan kepada bagian telur yang tercerai berai. Secara ajaib, kulit, putih dan merah telur itu berubah menjadi tiga sosok bayi. Sang Hyang Tunggal memberi nama masing-masing bayi yang tercipta, dari kulit telur diberi nama Sang Hyang Antaga, sedangkan bayi yang tercipta dari putih telur diberi nama Sang Hyang Ismaya, dan bayi yang tercipta dari merah telur diberi nama Sang Hyang Manikmaya. Kelak ketiga putra Sang Hyang Tunggal ini akan mempunyai peran penting dalam meramaikan Jagat Pramuditya......

Shanghyang nurrasa....

Eggyzsutamy
SANG HYANG NUR RASA
Setelah lama berkuasa di Kahyangan Malwadewa, Sanghyang Nurcahya yang telah dikarunia seorang putra dengan Dewi Nurrini (Dewi Mahamuni), selanjutnya menyerahkan tahta Malwadewa kepada putranya yang telah beranjak dewasa, Sanghyang Nurrasa.
Selain menyerahkan kahyangan Malwadewa, Sanghyang Nurcahya juga menyerahkan seluruh kesaktian pusakanya, antara lain Cupu Manik Astagina, Lata Maosadi (Pohon Rewan / Pohon Kehidupan, Oyod Mimang, Kalpataru), dan Sesotya Retna Dumillah. Selanjutnya Sanghyang Nurcahya menciptakan Pustaka Darya, yang adalah serat (kitab) yang menyatu dalam budi. Serat (kitab) tersebut berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis). Membacanya dengan "cipta sasmita" (kemampuan batin). Berisi kisah perjalanan Sang Hyang Nurcahya sendiri. Setelah menyerahkan semuanya kepada Sanghyang Nurrasa, Sanghyang Nurcahya meraga menjadi satu dengan Sanghyang Nurrasa.

Dalam kisahnya Sanghyang Nurrasa menikah dengan Dewi Sarwati putri Prabu Rawangin raja jin Pulau Darma yang tidak lain adalah kakeknya. Dari perkawinannya itu, mereka dikarunia beberapa anak yang terlahir "Sotan" (suara yang samar-samar tanpa wujud). Masing-masing hanya terdengar suaranya saja. Suara-suara itu bersahut-sahutan seperti berebut siapa yang lebih tua.

Sanghyang Nurrasa kemudian mengheningkan cipta, masuk ke alam gaib. Dengan kesaktiannya, ia bisa melihat wujud putra-putranya itu. Dua suara yang lebih besar berada di depan, dan yang satu bersuara kecil berada di belakang. Keduanya bisa terlihat setelah disiram dengan Tirtamarta Kamandalu. Sanghyang Nurrasa akhirnya menetapkan, bahwa yang di belakang lebih tua daripada yang di depan.

Putra bersuara kecil yang ada di belakang itu diberi nama Sanghyang Darmajaka, sementara dua putra yang bersuara besar yang ada di depan, kembar diberi nama Sanghyang Wenang dan Sanghyang Wening. Peristiwa tersebut diceritakan terjadi pada tahun 2900 Matahari, atau tahun 2989 Bulan.

Beberapa tahun kemudian, Dewi Sarwati melahirkan seorang putra lagi, kali ini berwujud 'akyan' (jasad halus). Putra ketiga tersebut diberi nama Sanghyang Taya.

Setelah putra-putranya dewasa, Sanghyang Nurrasa mewariskan semua ilmu kesaktiannya kepada mereka. Namun diantara mereka hanya Sanghyang Wenang yang paling berbakat sehingga terpilih sebagai ahli waris Kahyangan Malwadewa. Sanghyang Nurrasa kemudian turun takhta dan menyatu ke dalam diri Sanghyang Wenang.

Shanghyang wenang

Eggyzsutamy
SANG HYANG WENANG
Sanghyang Wenang juga gemar bertapa dan olah rasa, sama seperti kakeknya dulu, Sanghyang Nurcahya. Segala macam tempat wingit ia datangi. Segala macam jenis tapa brata ia jalankan. Ia kemudian membangun istana yang melayang di udara, tepatnya di atas puncak Gunung Tunggal, sebuah gunung tertinggi di Pulau Malwadewa. Setelah 300 tahun bertakhta, ia akhirnya dipertuhankan oleh seluruh jin di pulau tersebut.

Pada saat itu hidup seorang raja bangsa manusia bernama Prabu Hari dari kerajaan Keling di Jambudwipa. Ia marah mendengar ulah Sanghyang Wenang yang mengaku Tuhan tersebut. Tanpa membawa pasukan ia datang menggempur Kahyangan Pulau Malwadewa seorang diri. Perang adu kesaktian pun terjadi. Dalam pertempuran itu Prabu Hari akhirnya mengakui keunggulan Sanghyang Wenang.

Prabu Hari kemudian mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Sahoti sebagai istri Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu lahir seorang putra berwujud akyan, yang diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Setelah dimandikan dengan Tirtamarta Kamandalu, keempat cahaya dalam tubuh bayi itu bersatu. Bayi tersebut kemudian menjadi sosok berbadan rohani yang memancarkan cahaya. Putra pertama Sanghyang Wenang itu diberi nama Sanghyang Tunggal. Peristiwa ini terjadi pada tahun 3500 Matahari.

Beberapa waktu kemudian Dewi Sahoti melahirkan bayi kembar dampit, laki-laki-perempuan, yang keduanya juga berwujud akyan, dengan diliputi cahaya. Keduanya kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandalu dan diberi nama oleh sang ayah. Yang laki-laki diberi nama Sanghyang Hening, sementara yang perempuan diberi nama Dewi Suyati.

Sementara itu, perjalanan kehidupan kakak kandung Sanghyang Wenang, yaitu Sanghyang Darmajaka telah menjadi raja di negeri Selong. Sanghyang Darmajaka mempunyai istri bernama Dewi Sikandi, putri Prabu Sikanda dari Kerajaan Selakandi. Kerajaan ini terletak di Tanah Srilanka.

Dari perkawinan tersebut Sanghyang Darmajaka mendapatkan lima orang anak, yaitu Dewi Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan Sanghyang Pancaresi.

Sanghyang Darmajaka kemudian berbesan dengan Sanghyang Wenang, yaitu melalui pernikahan Dewi Darmani dan Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal sendiri kemudian menjadi raja Keling, menggantikan sang kakek, Prabu Hari.

Sri khresna maharaja dwarawati

Eggyzsutamy 

Kresna adalah salah seorang pemimpin yang memiliki karakter unik dan karisma tersendiri di era Mahabarata. Lahir di negri Mandura, dibesarkan dan digembleng di desa terpencil Widarakandang, yang masih menjadi bagian dari negri Mandura. Dan kemudian menjadi raja besar di negri Dwarawati. Kresna adalah seorang raja sekaligus politisi dan diplomat ulung di jamannya. Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa, raja dari Mandura. Basudewa yang memiliki tiga orang putra, yaitu Baladewa, yang memiliki nama muda Kakrasana, Narayana yang ketika bergelar raja bernama Kresna, dan Rara Ireng, yang kemudian dikenal dengan nama Dewi Wara Sumbadra.

Ketiga bersaudara putra Basudewa ini, sejak kecil dititipkan di padepokan Widarakandang, diasuh oleh Ki Demang Antagopa, dan istrinya Nyi Ken Sagupi. Ini terjadi ketika sebelum mereka bertiga lahir, menurut desas-desusnya, permaisuri Mandura, Dewi Maerah telah melahirkan seorang putra yang berwujud raksasa, dan beranjak remaja, bernama Kangsadewa yang sesumbar akan membunuh adik-adiknya bila mereka besar demi mendapat tahta Mandura. Sehingga demi keselamatan Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, mereka disembunyikan di desa terpencil itu.

Ketika mereka beranjak dewasa, baik Kakrasana maupun Narayana, sama-sama mengembara secara terpisah demi mengejar ilmu kanuragan dan kautaman. Terutama yang kemudian banyak belajar dari para resi dan begawan, dan anehnya, Narayana juga banyak mendapat pembelajaran dari mimpi-mimpi di kala tidurnya.

Ketika mereka kembali ke Widarakandang, Kakrasana, dan Narayana, mendapat cobaan yang nyata ketika Kangsadewa terang-terangan menantang mereka dan menuntut hak atas tahta negri Mandura. Kangsadewa dibantu pamannya yang terkenal sakti bernama Suratimantra. Sebuah rahasia terkuak ketika sebenarnya Kangsadewa sejatinya bukan anak Basudewa. Dia memang lahir dari rahim Dewi Maerah, yang terpedaya oleh seorang sakti Bangsa Raksasa bernama Gorawangsa. Yang memiliki ilmu ajian panglimunan, menipu penglihatan siapa pun yang berjumpa dengannya. Ketertarikannya kepada Dewi Maerah, membuatnya menyaru sebagai Basudewa dan kala itu hidup beberapa lama di istana Mandura, ketika Basudewa yang asli pergi dari istana. Suratimantra adalah adik dari Gorawangsa.

Keributan pun terjadi. Gorawangsa bertempur seru dengan Basudewa, sementara Kangsadewa dan Suratimantra memburu Kakrasana dan Narayana. Beruntung salah seorang adik Basudewa, bernama Ugrasena segera memacu kudanya ke negri Hastinapura, meminta bantuan kakak iparnya, Pandu Dewanata. Dengan bantuan Pandu yang datang bersama anak keduanya yang masih remaja, tapi badannya tinggi besar dua kali rata-rata Bangsa Manusia biasa, bernama Bratasena, maka Gorawangsa dan Suratimantra pun mati. Kangsadewa yang lengah dan gentar setelah kematian orang tua dan pamannya, pun menjadi lengah dan mati di tangan Kakrasana.

Sejak itulah Kakrasana, Narayana dan Rara Ireng diboyong ke kerajaan Mandura. Tak berapa lama kemudian tahta Mandura pun deserahkan kepada anak sulung Basudewa, Kakrasana. Yang setelah dilantik duduk disinggasana bergelar Prabu Baladewa. Sementara Narayana diangkat menjadi senapati agung negri itu.

Namun rupanya, kakak-adik ini tidak memiliki visi yang sama dalam memimpin negri Mandura. Sang raja Baladewa yang memang memiliki temperamen tinggi dan mudah marah, terkadang mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut kelangsungan kehidupan negri dan menentukan nasib rakyat Mandura, dalam keadaan emosi dan dengan kondisi marah. Sehingga keputusan-keputusan itu pun terkadang ditentang oleh adiknya sendiri, Narayana, yang berulangkali mengingatkannya agar Baladewa diminta belajar terlebih dahulu mengendalikan dan memimpin dirinya sendiri dari amarah berlebihan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seorang raja besar. Di bilik tersembunyi istana pun terkadang, mereka berdua, Baladewa dan Narayana, seringkali adu mulut dan bersitegang tentang banyak hal.

Narayana, yang dalam pemikirannya berusaha selalu mengedepankan kepentingan negri Mandura, perlawanannya kepada sang raja Baladewa, disikapi secara berbeda olehnya. Baladewa dalam kondisi emosi menganggap Narayana iri atas tahtanya di Mandura, dan berusaha merongrong kewibawaannya, demi ingin duduk disanggasana menggantikannya sebagai raja Mandura.

Sejak itulah Narayana merasa disingkirkan dan memilih untuk pergi dari istana. Rara Ireng justru memutuskan ikut Narayana, yang dianggapnya lebih memiliki kesepahaman dengannnya. Narayana pun hidup di pinggiran sisi barat Mandura, berbatasan dengan hutan Wanamarta sisi selatan. Hidup diantara rerimbunan hutan dan menjadi perompak bagi para bangsawan dan kayaraya yang lewat di daerah persembunyiannya, untuk kemudian harta yang diperolehnya dibagi-bagikan kepada rakyat miskin dan terpencil, jauh dari jangkauan kebijakan istana Mandura.

Memang pertentangan Baladewa dengan adiknya, Narayana, yang paling kentara adalah pada hal kebijakan Baladewa yang lebih berpihak kepada para bangsawan dan kayaraya pemilik modal. Dan semakin menindas rakyat miskin. Sehingga keputusan Narayana menjadi perompak adalah sebagai wujud protesnya atas kebijakan-kebijakan yang diambil kakaknya.

Cukup lama Narayana menjalani hidup demikian, sampai kemudian suatu ketika aksinya digagalkan oleh seorang senapati agung bangsa Hastinapura, dan dia diberi wejangan agar mengakhiri jalan hidup yang seperti itu, dan mulai membangun sebuah upaya nyata untuk memperjuangkan idealismenya. Seorang senapati yang menyadarkannya adalah salah satu sesepuh bangsa Hastinapura yang begitu dihormati di seluruh dunia wayang, dan dikenal dengan sikap pengabdian sepanjang hidupnya, dia yang dikenal dengan nama Resi Bisma, seorang ksatria senapati yang memilih jalan hidup bagai seorang begawan.

Sejak itu Narayana pergi semakin ke barat, memasuki negri bernama Dwarawati. Sebuah negri yang banyak dihuni Bangsa Manusia tapi dipimpin oleh seseorang berdarah Bangsa Raksasa, bernama Prabu Narasingha. Seorang raja yang dalam kebijaksanaanya justru meminggirkan Bangsa Manusia yang mayoritas, tapi secara fisik lebih kecil dan lebih lemah dibanding Bangsa Raksasa yang minoritas. Narayana pun berbaur dengan rakyat negri Dwarawati.

Di negri inilah kemudian Narayana belajar untuk berorganisasi, memimpin sebuah pergerakan demi kesamaan hak antara Bangsa Manusia dengan Bangsa Raksasa di negri Dwarawati. Di negri inilah Narayana mengawali pembelajaran dirinya sebagai seorang diplomat, dan menebar pengaruh dengan cara dialog tanpa kekerasan. Walaupun dia memiliki kesaktian ilmu kanuragan yang tinggi, tapi di Dwarawati, dia lebih banyak melebarkan sayap dan semakin banyak orang yang hormat dan segan kepadanya dengan cara-cara tanpa sama sekali menggunakan kesaktiannya.

Sampai kemudian Prabu Narasingha memburunya, dan menjadikan Narayana sebagai pemberontak di negri Dwarawati. Namun rupanya Narasingha terlalu percaya diri, bahwa rakyatnya masih takut kepadanya. Dia terkejut ketika melihat sebagian besar penduduknya sudah berani secara terbuka menentangnya atas rasa percaya diri yang berhasil ditanamkan Narayana. Tanpa kesulitan yang berarti, justru Narayana yang berhasil memasuki istana Dwarawati dalam upaya meminta Narasingha meletakkan tahta secara baik-baik.
Narasingha yang keras kepala itu pun harus mati terbunuh oleh Narayana, ketika dia memaksakan diri untuk menyerang Narayana, pada saat dia mulai mengetahui bahwa sebagian besar prajurtinya pun sudah mulai menyeberang dan berdiri di belakang Narayana. Rakyar Dwarawati pun satu suara, dan meminta Narayana menjadi raja di Dwarawati setelah istana kosong ditinggal Narasingha.

Sejak itulah Narayana bertahta di negri Dwarawati, dan bergelar Prabu Sri Kresna. Ketika itu pun Kresna menunjukkan sikap kenegarawanannya, saat dia juga merangkul orang-orang yang dulu ada di sekitar Narasingha. Termasuk mengangkat Narayudajaya, salah satu keponakan Narasingha, sebagai salah seorang senapati negri Dwarawati.

Ketika mendengar Pandawa dibuang di hutan Wanamarta yang terletak di utara negri Dwarawati, Kresna pun segera bergegas ke sana, teringat hutang budinya ketika dia dibantu Pandu, ayah Pandawa dalam melenyapkan ancaman Mandura. Atas bantuan Kresna, Pandawa pun berhasil membangun negri dengan membuka hutan Wanamarta, dan menjadikan wilayah itu negri bernama Amarta.

Perlahan tapi pasti, Dwarawati dan Amarta pun menjadi besar dan semakin menjadi negri yang dihormati di seluruh wilayah Dunia Wayang. Dwarawati yang dipimpin Sri Kresna dan Amarta yang dipimpin oleh Yudhistira pun merintis sebuah cita-cita demi sebuah perdamaian di seluruh Dunia Wayang. Perdamaian yang dilandasi saling menghargai dan menghormati antar wilayah negri yang berdaulat dan bermartabat. Kehendak ini pun mereka sampaikan ketika mereka mengundang seluruh tokoh raja, begawan, ksatria di seluruh Dunia Wayang, dalam sebuah perhelatan di negri Amarta yang bernama Sesaji Rajasuya.

Justru banyak pemimpin negri yang merasa iri ketika hadir dalam perhelatan Rajasuya dan menyaksikan sendiri mewahnya istana Amarta. Sebagian justru salah sangka dengan menganggap acara Rajasuya sebagai upaya Yudhistira untuk pamer atas istana barunya. Sehingga ketegangan-ketegangan pun terjadi. Yang justru semakin mengeruhkan suasana, ditambah ulah licik pihak Kurawa yang berhasil semakin membuat dua kubu kekuatan di dunia wayang, demi agenda sang raja Duryudana yang iri atas keberhasilan Yudhistira, justru di saat pengasingannya.

Kresna, yang kemudian tanggap atas peta pengkutuban kekuatan itu pun, langsung berupaya membantu Yudhistira yang tetap ingin mengupayakan penyelesaian hak atas negri Hastinapura secara damai. Sampai kemudian Kresna sendiri yang datang menjadi duta bagi pihak Pandawa, walaupun nyata-nyata Pandawa kembali sebelumnya ditipu daya dan dibuang selama tigabelas tahun di negri Wirata.

Rupanya upaya Kresna untuk membangun dialog itu tidak berhasil. Justru Duryudana, pimpinan Kurawa secara terbuka menantang Pandawa. Sebuah tantangan yang mau tak mau disikapi dengan persiapan pertempuran yang disepakati dilakukan di padang Kurusetra. Kresna sendiri yang kemudian mendampingi Pandawa menjadi penasihat perang. Kresna, seorang raja, pimpinan negri sekaligus juru bicara dan diplomat ulung yang juga pandai dalam strategi perang. Perang Pandawa - Kurawa yang berkobar yang dikenal dengan nama Baratayuda.

Adalah Kresna yang mengusulkan strategi demi strategi formasi perang bagi Pandawa. Dia yang begitu pandai membuat tarik ulur, kapan harus menggempur secara luar biasa, kapan harus mundur sejenak, kapan harus menyerang dengan kekuatan apa adanya demi strategi memberi angin musuh dalam rangka melenakan mereka. Kresna yang juga mengusulkan kepada Yudhistira, siapa dan kapan sang panglima perang di medan laga.

Sebelum Baratayuda dimulai, Kresna yang mencoba berstrategi memancing Karna agar berkehendak meminta Salya, sang mertua sebagai saisnya saat pertempuran. Karena Kresna tahu bahwa hubungan mertua menantu antara Karna dan Salya tidak begitu bagus. Dan itu bisa menjadi sebuah keberuntungan di pihak Pandawa.

Ketika Baratayuda baru mulai, Kresnalah yang mengembalikan semangat Arjuna untuk maju perang, ketika si Arjuna dilanda keraguan harus berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri. Nasihat yang begitu indah yang kemudian tertuang dalam kitab Bhagawadgita. Kresna yang dengan jelinya mengusulkan untuk memasang seorang panglima perang perempuan ketika pihak Kurawa memasang Bisma sebagai panglimanya. Kresnalah yang meminta Gatotkaca sebagai panglima ketika Karna maju menjadi pimpinan perang Kurawa, demi menyelamatkan Arjuna dari senjata pamungkas Karna. Gatotkaca yang kemudian mati oleh senjata mematikan Konta milik Karna yang hanya meminta satu korban, dan siapa pun itu pasti mati.

Kresnalah yang kemudian berstrategi mempertemukan Salya dengan Yudhistira. Karena hanya dengan Yudhistira-lah Salya bisa dikalahkan. Sampai Baratayuda selesai dengan kemenangan dipihak Pandawa, tak lepas dari kepandaian dan kejelian Kresna dalam melihat pertanda dan strategi yang tepat untuk diterapkan dalam peperangan.

Tapi sosok penggambaran Kresna, tetap seperti cermin bagi kehidupan kita. Kresna yang piawai dalam diplomasi dan strategi, juga memiliki kekurangan-kekurangan. Salah satu hal yang paling kelihatan adalah kekurangan Kresna yang dinilai gagal dalam membina keluarganya sendiri demi kejayaan negri Dwarawati.
Kresna memiliki tiga orang istri dan dua orang anak angkat. Dikisahkan Kresna yang memang memiliki kemahiran dalam membangun perdamaian di negri Wayang, sehingga dia dipilih oleh Dewa Wisnu, yang memutuskan menempuh jalan kematiam dan menyatu dengan hati dan pikiran Kresna. Hal inilah yang kemudian cerita itu menggiring kepada keputusan Kresna yang mengangkat anak kepada Sitija dan Siti Sendari, dua anak kandung Dewa Wisnu, dari istrinya Dewi Pertiwi.

Sitija yang memiliki watak keras dan memiliki hati seperti batu. Sementara Siti Sendari yang manja dan selalu dihinggapi rasa cemburu, apalagi ketika sejak menikah dengan Abimanyu, mereka tahu tak juga kunjung dikaruniai keturunan.

Istri Kresna yang pertama adalah Dewi Jembawati. Seorang putri cantik dari bangsa Kera. Perkawinan mereka melahirkan Samba, seorang ksatria yang sombong dan tak pernah tersentuh kesopanan. Samba yang dalam berbicara seringkali menyinggung perasaan orang lain. Samba yang ketika dewasa juga tak bisa mengendalikan diri dan merayu kakak iparnya sendiri, Dewi Adnyanawati, istri Sitija. Samba yang kemudian mati oleh kemarahan Sitija. Sebuah kejadian tragedi kematian Sitija yang membuat Kresna lepas kendali dan membunuh Sitija, anak angkatnya sendiri. Sementara adik Samba bernama Gunadewa. Seorang tampan yang memiliki postur tubuh dan cara berjalan seperti bangsa Kera. Gunadewa yang kemudian tidak kuat jauh dari kasih sayang orangtuanya, karena Kresna lebih banyak sibuk menjalin hubungan persahabatan dengan negri lain, dan hampir tak pernah memiliki waktu cukup bersama keluarganya di istana Dwarawati. Sehingga Gunadewa memilih untuk pergi tinggal bersama kakeknya, Kapi Jembawan. Jauh dari keramaian.

Istri kedua Kresna adalah Dewi Rukmini. Putri negri Kumbina, anak dari Prabu Bismaka. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai anak Saranadewa dan Partadewa. Saranadewa yang berwajah Raksasa, yang konon ketika berkasihan dengan Rukmini, Kresna dalam keadaan marah tiwikrama menjadi sosok Raksasa. Rasa kecewa Saranadewa membuat dia mengasingkan diri dan hampir tak pernah muncul di istana Dwarawati. Sementara sang adik Partadewa, yang juga tak pernah bertegur sapa dengan Kresna, memilih untuk membangun padepokan, dan memperdalam ilmu kautaman di desa Dadapaksi.

Sementara istri ketiga Kresna bernama Dewi Setyaboma, putri Prabu Setyajid, raja negri Lesanpura. Setyaboma memiliki adik bernama Satyaki yang menjadi panglima perang di Dwarawati. Kresna dan Setyaboma, memiliki putra bernama Setyaka, yang hidup bersama kakeknya di Lesanpura, dan diberi wilayah kasatrian di Tambakwungkal, bagian selatan dari Lesanpura. Setyaka juga merasa asing dengan ayahnya sendiri.

Kresna yang dikenal ulung dalam menjalin dialog, tak sempat untuk mencegah perang saudara kerajaan Mandura, negri tempatnya dilahirkan. Sehingga negri kerabat kerajaan Mandura musnah tak ada yang tersisa setelah Baladewa dipaksa turun dari tahta dan pergi entah kemana. Dan kisah itu juga membawa Kresna pada kegagalannya untuk mempersiapkan penerus keturunannya sebagai raja di Dwarawati. Dwarawati setelah Kresna tetap berjaya pada masa jaman Parikesit. Tapi diperintah bukan oleh keturunan langsung dari Kresna. Kerajaan Dwarawati setelah kepemimpinan Kresna dipimpin oleh Arya Sangasanga, anak kandung Satyaki.

Satra jendra hayuningrat pangruwating diyu

Eggyzsutamy
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Tersebutlah sebuah negara bernama Lokapala. Yang menjadi raja adalah seorang pemuda gagah sakti mandraguna, pandai dalam olah keprajuritan bernama Wisrawana atau juga yang bergelar Prabu Danaraja/Danapati. Rakyat dan bala tentara Lokapala terdiri dari bangsa manusia dan raksasa. Lokapala merupakan salah satu kerajaan tertua, sebelum pemerintahan dipimpin oleh Prabu Danaraja, dahulunya kerjaan ini dipimpin oleh para leluhurnya. Pendiri Lokapala sendiri adalah Prabu Andanapati yang merupakan putra dari Batara Sambodana (anak Batara Sambu).
Prabu Andanapati mempunyai seorang kakak kandung bernama Resi Wasista.
Prabu Lokawana yang adalah generasi ketiga dari Prabu Andanapati menurunkan seorang putri bernama dewi Lokawati. Ia menjodohkan putrinya dengan Resi Wisrawa yang adalah putra dari Resi Supadma (generasi ketiga Resi Wasista). Jadi antara Resi Wisrawa dan Dewi Lokawati masih terjalin pertalian saudara yang kemudian lahir Prabu Wisrawana (Prabu Danaraja).
Alkisah Prabu Danaraja mendengar ada sebuah sayembara yang memperebutkan seorang putri cantik bernama Dewi Sukesi. Dewi Sukesi adalah putri dari Prabu Sumali seorang raja raksasa pemimpin negara Alengka. Kecantikan Dewi Sukesi yang telah kesohor keseluruh mancanegara sudah dipastikan akan menjadi perebutan diantara para raja-raja. Tidak terkecuali dengan Prabu Danaraja yang ingin sekali memperistri Dewi Sukesi dan menyandingkannya sebagai permaisuri kerajaan Lokapala. Maka disampaikanlah keinginan itu kepada ayahandanya Resi Wisrawa. Kepada ayahandanya, Danaraja menyampaikan hasratnya ingin menikahi Dewi Sukesi. Namun ang membuat Danaraja merasa berkecil hati adalah sayembara yang digelar oleh Prabu Sumali bukanlah sayembara unjuk kedigjayaan yang bersifat keprajuritan, akan tetapi sayembara itu adalah syarat yang diminta langsung oleh sang dewi untuk bisa membuka tabir "Sastra Jendra Hayu Ningrat". Sudah banyak raja-raja mancanegara yang mengundurkan diri dalam sayembara karena mereka tidak mampu membuka tabir tersebut. Namun Danaraja merasa yakin bahwa ayahandanya mampu membuka tabir Sastra Jendra Hayuningrat. Untuk itu Danaraja meminta kepada ayahnya agar mau mengikuti sayembara mewakili dirinya.
Resi Wisrawa yang sangat mencintai putranya itu sudah pasti sangat senang dan mengabulkan permintaan sang putra. Ia pun berpendapat bahwa, tidak pantas bagi seorang raja terjun langsung ke dalam arena sayembara, terlebih lagi tentang Sastra Jendra yang dianggapnya hanya dririnya sendiri yang mampu menjabarkan ilmu adiluhung tersebut. Dengan cinta yang tulus dari seorang ayah, Wisrawa bersedia berangkat ke Alengka untuk melamar sang putri Sukesi.
Alengkadirja adalah kerajaan besar yang dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Sumali. Walaupun sang raja berwujud raksasa namun hati dan tindak-anduknya jauh lebih mulia melebihi manusia lumrah. Prabu Sumali sendiri adalah putra dari raja Alengka sebelumnya, Prabu Puksura. Prabu Sumali juga memiliki putra yang berwujud raksasa bernama Prahasta yang sangat sakti. Negara Alengka merupakan negara yang sudah berusia cukup tua. Raja-raja sebelumnya yaitu Prabu Banjaranjali, Prabu Jatimurti, Prabu Getahbanjaran, Prabu Bramanatama, Prabu Puksura dan terakhir Prabu Sumali. Rakyat Alengka kebanyakan adalah para raksasa yang hidup tentram dan damai dibawah kepemimpinan raja-raja tersebut.
Prabu Sumali tengah dirundung bingung. Ia sedang mencari jodoh untuk putrinya yang tercinta Dewi Sukesi. Namun sang putri yang dikasihinya itu menuntut syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi bagi kebanyakan orang. Yang ingin meminangnya harus ahli membedarkan sastra agung Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Namun diluar persyaratan itu, Jambumangli yang merupakan paman Dewi Sukesi sendiri yang berwujud raksasa, menghendaki Sukesi menikah dengan seorang satria yang mampu mengatasi keperkasaannya. Syarat yang dibuat oleh Jambumangli sendiri. Dan memang hingga kini tidak satupun para kesatria dan raja yang datang ke Alengka mampu mengalahkan kedigjayaan Jambumangli. Ada udang dibalik batu. Sebenarnya Jambumangli menginginkan Sukesi. Jambumangli tidak ingin ada orang lain yang boleh mempersunting Sukesi. Hal tersebut sebenarnya telah diketahui oleh Sukesi, maka dari itu Sukesi pun meminta syarat khusus yang tidak bisa dipenuhi oleh Jambumangli.
Resi Wisrawa akhirnya sampai di istana Alengka dan bertemu dengan Prabu Sumali. Sebenarnya Resi Wisrawa dan Prabu Sumali adalah sahabat dekat, hubungan mereka sangat akrab. Tanpa basa basi Wisrawa menyampaikan maksudnya kepada Prabu Sumali. Sang prabu memberitahukan bahwa untuk mendapatkan Dewi Sukesi ada syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tidak memandang apa dan siapa, dari golongan mana orangnya, yaitu harus dapat mengungkapkan tabir Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Resi Wisrawa menyanggupi. Ia menjelaskan kepada Prabu Sumali apa arti ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Namun sebelum wejangan berupa penjabaran makna ilmu sastrajendra diajarkan kepada Dewi Sukesi, Resi Wisrawa memberikan sekilas tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Resi Wisrawa berkata, jika dengan sesungguhnya menghendaki keutamaan dan ingin mengetahui arti sastra jendra. Ajaran Ilmu Sastra Jendra itu adalah rahasia alam semesta, barang siapa yang mampu membaca, memahami dan melaksanakan ajaran Sang Maha Pencipta yang tersirat dan tersurat, maka ia akan menjadi besar dalam kesempurnaan hidupnya. Yang menyadari dan mentaati benar makna yang terkandung dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak (nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur.
Prabu Sumali tertegun mendengar uraian Resi Wisrawa. Mendengar penjelasan singkat itu Prabu Sumali hatinya menjadi sangat terpengaruh, dengan segera ia mempersilahkan Resi Wisrawa masuk ke dalam sanggar Dewi Sukesi. Wejangan dilakukan di dalam sanggar, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, agar penjabaran ilmu tersebut bisa diserap langsung oleh sang dewi dengan sempurna.
Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu sebagai kunci orang dapat memahami isi alam semesta, dimana di dalamnya terkandung makna hubungan manusia dengan Sang Pencipta Yang Maha Esa, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta dimana manusia itu hidup. Dan pada akhirnya kemana manusia itu akan kembali. Maka dari itu ilmu Sastra Jendera Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebagai sarana pemusnah segala bahaya. Sudah tidak ada lagi ilmu yang paling tinggi, segalanya sudah tercakup dalam sastra utama, puncak dari segala macam ilmu.
Sastra Jendra disebut pula Sastra Ceta. Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Karena itu Ilmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya. Jadi, Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup. Kembalinya manusia kepada Sang Penciptanya.
Sementara itu di kahyangan Suralaya, Jonggring Salaka. Sanghyang Jagatnata (Batara Guru) sangat gelisah. Ia sangat merisaukan permintaan Dewi Sukesi yang ingin mengetahui serat ilmu Sastra Jendra. Dan yang lebih membuat hatinya risau bercampur marah adalah Wisrawa kini sedang mencoba menjabarkan ilmu tersebut. Jagatnata tidak ingin siapapun, mahluk apapun di jagat raya ini mengetahui risalah Sastra Jendrahayuningrat. Sebab, bila semua itu terjadi, apalagi manusia atau mahluk di jagat pramuditya ini menjalankan makna yang terkandung dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka tidak akan ada lagi bangsa manusia, jin dan raksasa yang memuja para dewa. Suralaya akan terguncang, hancur luluh. Untuk itu Sanghyang Jagatnata bermaksud ingin menggagalkan tujuan Wisrawa. Bersama Dewi Permoni, Sanghyang Jagatnata turun ke mayapada menuju Alengkadirja.
Dalam pesanggrahan yang hanya diterangi oleh titik cahaya, dua insan berbeda jenis saling berhadapan. Resi Wisrawa memulai wejangannya membuka risalah-risalah ilmu agung kepada Dewi Sukesi. Dilain pihak, tanpa diketahui oleh kedua insan ini, dua titik cahaya yang mempunyai maksud tersembunyi menyeruak masuk ke dalam pesanggrahan. Dua titik itu terus menerobos masuk dan meraga sukma ke dalam jasad Wisrawa dan Sukesi. Dua titik cahaya tadi tidak lain adalah Sanghyang Jagatnata yang merasuk ke dalam tubuh resi Wisrawa, dan titik satunya adalah Dewi Permoni yang juga telah merasuk ke dalam jasad Dewi Sukesi.
Jauh di dalam jasad, di alam yang tidak terlihat oleh kasat mata. Dua mahluk berupaya merusak nafsu yang menjadi dasar kodrat kemanusiaan. Dewi Permoni yang mempengaruhi nafsu-nafsu Dewi Sukesi, dan Sanghyang Jagatnata yang mempengaruhi nafsu-nafsu Wisrawa. Keduanya menggoda dengan sangat kuat. Godaan demi godaan kian membakar diantara kedua insan. Wisrawa dan Sukesi tidak lagi mampu menahan godaan. Tepat sebelum Wisrawa mampu menjabarkan keseluruhan serat Sastra Jendra, keduanya terjerumus dalam kubang kenistaan. Jebolah dinding pertahanan Wisrawa dan Sukesi hingga keduanya larut dalam cumbuan birahi yang membutakan mereka. Tidak ada lagi penyesalan diantara keduanya pada saat itu. Hubungan tersebut terjalin berlarut-larut hingga Dewi Sukesi membuahkan kandungan. Wisrawa lupa bahwa ia pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai wakil anaknya untuk memenuhi syarat yang diinginkan Dewi Sukesi.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Dan hasil dari segala uraian yang gagal diselesaikan itu adalah sebuah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka besar dunia dikemudian hari. Namun apapun hasilnya harus tetap dijalani. Wisrawa dan Sukesi menceritakan semuanya apa adanya kepada sang ayah Prabu Sumali. Dengan arif Prabu Sumali menerima kenyataan yang sudah terjadi. Akhirnya Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi resmi sebagai suami istri, dan seluruh sayembara ditutup.

Pesan satra jendra hayuningrat

Eggyzsutamy
Pesan "Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu"
Pesan "Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu"

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah pesan yang diajarkan dalam pewayangan yang mengajarkan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang benar sehingga menghasilkan kehidupan yang harmonis. Di dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu terdapat 7 tahapan hidup yakni:

1. Tapaning jasad, yang berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Janganlah hendaknya merasa sakit hati atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu peristiwa yang menyangkut pada dirinya. Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan kesungguhan hati.

2. Tapaning budi, yang berarti mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina dan segala hal yang bersifat tidak jujur.

3. Tapaning hawa nafsu, yang berarti mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara murka dari diri pribadi. Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati, berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta kewaspadaan (hening).

4. Tapaning sukma, yang berarti memenangkan jiwanya. Hendaknya kedermawanannya diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian, sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga. Pendek kata tanpa menyinggung perasaan.

5. Tapaning cahya, yang berarti hendaknya orang selalu awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan saru. Lagi pula kegiatannya hendaknya selalu ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan umum.

6. Tapaning gesang, yang berarti berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi.

7. Rasajati yang merupakan tujuan dan inti dari 6 diatas, memperlambangkan jiwa atau badan halus ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan, kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah yang baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat itu ialah; Luamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya sesuatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan dan lain sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya) yang selalu menghalang-halangi tindakan yang tidak senonoh.
Bilamana manusia mengikuti tahapan diatas, Insya Allah, tidak akan ada kekerasan, dendam, permusuhan, pemimpin yang lupa atau kejam. Disini saya hanya menyampaikan pesan saja kepada masyarakat yang lupa akan budayanya terutama para remaja. Bila saya melakukan kesalahan, mohon maaf.......